![]() |
Poster Film Laskar Pelangi |
Belakangan ini, istilah ekranisasi mulai banyak dikenal orang terutama di kalangan mahasiswa dan pengkaji karya sastra. Fenomena itu muncul seiring dengan semakin banyaknya karya-karya sastra yang diadaptasi dalam bentuk film. Seperti novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Rectoverso karya Dee dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Ekranisasi sendiri adalah istilah dari bahasa Prancis, ecran yang
berarti layar. Pamusuk Eneste (1991) menyebutkan bahwa ekranisasi
adalah pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke film.
Selain itu, Suseno W.S. dalam blognya bensuseno.wordpress.com menyebutkan
bahwa
selain ekranisasi – yang menyatakan proses transformasi dari karya sastra
ke film – ada pula istilah lain, yaitu filmisasi.
Pada dasarnya, ekranisasi merupakan bagian dari teori alih wahana. Sapardi Djoko Damono (2012) menyebutkan bahwa alih wahana adalah kegiatan pengubahan satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Dalam ekranisasi, karya sastra yang menggunakan kata-kata sebagai wahananya diubah menjadi film yang berwahanakan gambar-gambar bergerak.
Dengan kata-kata sebagai wahananya, karya sastra menjadi sebuah bentuk kesenian yang dapat dinikmati (dibaca) oleh pembacanya kapan pun dan di mana pun. Karena kebanyakan wujud dari karya sastra adalah buku yang bisa dibawa kemana-mana dan dibaca kapan saja saat ada waktu luang, lalu berhenti pada satu titik untuk kemudian melanjutkan membaca lagi di lain kesempatan. Berbeda dengan menonton film, seseorang harus berada pada tempat dan waktu yang mendukung untuk diputarnya sebuah film. Misalnya di bioskop, di ruangan yang terdapat alat pemutar DVD atau VCD, atau di ruangan yang memiliki fasilitas-fasilitas lain yang mendukung.
Lebih lanjut Eneste (1991) menyatakan bahwa ekranisasi berarti terjadinya perubahan pada proses penikmatan, yakni dari membaca menjadi menonton; penikmatnya sendiri berubah dari pembaca menjadi penonton. Pada saat membaca karya sastra, pembaca disuguhkan langsung dengan rangkaian kata-kata yang dikarang oleh seorang sastrawan. Dalam proses pembacaan itu akan timbul imajinasi dalam benak pembaca yang mendeskripsikan dari apa yang tertulis dalam karya sastra yang sedang dibaca. Dari imajinasi itu akan muncul sebuah pemahaman. Oleh karena itu antara pembaca satu dengan pembaca yang lain seringkali timbul pemahaman yang berbeda terhadap sebuah karya sastra yang sama. Hal ini dikarenakan tiap individu memiliki caranya masing-masing dalam mengimajinasikan karya sastra yang dia baca.
Sedangkan dalam film ekranisasi, pekerja film tentu telah membaca terlebih dahulu karya sastra yang akan difilmkan. Terutama sang sutradara dan penulis skenario. Kemudian disusul dengan para aktor, tim ilustrasi, artistik, kameraman, editor dan kru-kru film lainnya. Mereka tentu telah lebih dulu membaca. Mereka telah lebih dulu mengimajinasikan dan memahami isi yang terkandung dalam karya sastra yang akan difilmkan tersebut. Hasil dari imajinasi itulah yang nantinya akan dituangkan dalam skenario dan divisualisasikan dalam film ekranisasi. Dengan kata lain, menonton film ekranisasi sama saja menelan imajinasi para pekerja film terhadap karya sastra yang mereka filmkan. Dengan menonton film, imajinasi penonton menjadi terbatas. Bahkan cenderung dipaksa untuk memiliki imajinasi yang sama dengan imajinasi para pekerja film.
Sudah pasti lebih mengasikkan jika bermain-main dengan imajinasi kita sendiri daripada harus menelan imajinasi milik orang lain. Inilah yang menyebabkan beberapa pembaca cenderung kecewa setelah menonton film ekranisasi dari karya sastra yang pernah mereka baca. Karena tiap individu memiliki imajinasi dan pemahaman mereka masing-masing sedangkan menonton film berarti menyaksikan imajinasi para pekerja film, bukan menyaksikan imajinasi milik sendiri. Namun perlu diingat bahwa ekranisasi adalah bagian dari alih wahana yang mengubah satu jenis kesenian menjadi jenis kesenian yang lain. Ekranisai bukan sebuah proses penciptaan kesenian yang lahir dari orang yang sama, waktu yang sama, pola pikir yang sama, situasi yang sama, tempat yang sama, ataupun latar belakang yang sama. Ekranisasi adalah sebuah transformasi atau pengubahan. Dengan kata lain, film yang dihasilkan nantinya adalah suatu hal yang benar-benar baru dan berbeda dari karya sastra yang diekranisasinya. Bluestone (1957) mengatakan bahwa studi bandingan yang tujuan awalnya adalah mencari persamaan novel dan film akan sampai pada kesimpulan bahwa keduanya berbeda sama-sekali. Senada dengan Bluestone, Eneste (1991) juga menyimpulkan novel dan film mempunyai bahasa, hukum, ukuran, dan nilai tersendiri. Oleh karena itu, tidaklah relevan mengatakan sebuah novel lebih bagus atau lebih buruk daripada filmnya, apabila suatu waktu novel tersebut difilmkan. Selain itu, Sapardi (2012) juga menyatakan bahwa kekecewaan atau kemarahan orang akan perbedaan antara film dan novel dilontarkan oleh khalayak yang tidak mengenal dengan baik perbedaan yang ada pada kedua jenis kesenian itu.
(Amry Rasyadany)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar